Kamis, 08 April 2010

korupsi

Saat membaca transkrip percakapan yang begitu "mesra" antara Artalyta Suryani (Ayin) dan beberapa pejabat tinggi dari Gedung Bundar, antara lain Kemas Yahya Rahman, yang saat itu masih menjabat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, setidaknya saya merasa kian teryakinkan terhadap kecenderungan perilaku bobrok para penegak hukum kita. Apa itu? Pertama, begitu canggihnya modus kejahatan para penegak hukum dalam mengkonspirasi pencurian uang negara. Mereka dengan begitu cerdas memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan/atau saling menguntungkan (reprositas) dengan pihak yang sedang menghadapi masalah hukum. Para pelaku penyimpangan uang negara merupakan target operasi, bahkan sebagai proyek basah yang diskenariokan oleh segelintir pejabat dalam upaya saling mengamankan, sehingga seolah-olah masalahnya bersih dan tidak merugikan uang negara. Makanya tak mengherankan kalau gaji mereka terbatas tapi harta yang dimiliki berlimpah, dengan gaya hidup diri dan keluarga yang bermewah-mewah.Kedua, ternyata nurani dan moralitas oknum-oknum itu sudah berada pada titik minus (di bawah nol). Betapa tidak. Mereka tidak peduli lagi dengan hukum yang harus ditegakkan sebagai tanggung jawab dan kewajiban asasi dari aparat atau pejabat. Mereka tidak peduli lagi dengan dampak dari perbuatan mereka yang sudah merugikan negara, yang mengakibatkan sebagian dari hak-hak rakyat tak terpenuhi atau tak terlayani (akibat dari kekurangan dana negara), yang hanya menguntungkan para pengutang uang negara. Mereka tak peduli lagi dengan hukum halal-haram dari uang yang diperoleh, kendati hasil konspirasi ala mafia itu akan masuk dalam darah daging sendiri, berikut anak-anak dan keluarganya. Ketiga, ternyata rakyat bangsa ini terus saja dibodohi dan dibohongi oleh para pejabat yang melindungi dirinya dengan otoritas yang dimiliki. Kalau para pejabat penegak hukum melakukan kejahatan konspiratif, mereka bisa aman-aman saja. Maklum, semua itu direncanakan dan dilakukan secara tertutup oleh segelintir oknum dengan berkolusi dan berkonspirasi. Rakyat baru mengetahui kejahatan para oknum itu ketika diberitakan oleh media massa, seperti halnya kasus skandal di Kejaksaan Agung sekarang ini. Maklum, birokrasi kita sangat tertutup yang biasanya memproteksi diri dengan istilah rahasia jabatan, padahal di dalamnya terkandung maksud agar kejahatan dan imoralitas yang mereka perbuat tak diketahui publik. Keempat, bukan mustahil perilaku bobrok yang dilakukan aparat dalam suatu instansi secara diam-diam memperoleh perlindungan dari atasan mereka, dan semakin hubungan atasan dan bawahan lebih menekankan kolegial-personal, maka akan kian aman juga kalangan aparat/pejabat bawahan terus melakukan kejahatannya. Saya dan Anda pembaca yang budiman pun kiranya sependapat bahwa Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak mungkin buta terhadap perilaku aparat bawahannya. Lantaran yang bersangkutan sendiri sadar betul bahwa kebiasaan itu dianggap wajar-wajar saja, karena sudah biasa terjadi, apalagi ada "percikan" atau "kebagian" juga dari hasil operasi konspirasi itu, segalanya bisa berlangsung aman-aman saja. Hal ini, meskipun agak samar, sebenarnya tersinyalkan juga dalam transkrip rekaman percakapan antara Ayin dan Kemas, terutama ketika muncul istilah si Joker. Karena semua pemain kartu remi pasti tahu bahwa istilah itu berarti sebagai penentu tertinggi dan ampuh dalam deretan kartu permainan.Kecenderungan perilaku seperti itu besar kemungkinan sudah kerap terjadi. Hanya, kali ini mereka sedang apes karena terjerat oleh kecanggihan teknologi pengungkapan fakta berupa alat penyadap telepon yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi belakangan ini. Para oknum itu agaknya tidak menyadari bahwa segala gerak-gerik, perbuatan, dan perkataan mereka dalam kaitan dengan pengusutan kasus para pengguna dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (khusus Sjamsul Nursalim) sedang dipantau. Namun, seperti kata pepatah, "sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah juga" atau "sepandai-pandai menyimpan barang busuk, pasti suatu saat akan tercium juga baunya". Kendati demikian, transkrip rekaman itu masih menimbulkan sedikit misteri, bahkan kecurigaan terhadap posisi KPK. Soalnya, terkait dengan penyebutan nama Antasari (Ketua KPK) dan Feri Wibisono (Direktur Penuntutan KPK) dalam percakapan antara Ayin dan UUS, itu mengindikasikan bahwa hubungan Ayin, baik dengan Antasari Azhar maupun Feri Wibisono, sudah tak asing lagi. Bahkan terkesan pihak pejabat Kejaksaan Agung yang terkait menjadikan kedua orang itu sebagai jaringan konspirasi untuk pengamanan perilaku jahat mereka. Ini memang bisa dipahami karena instansi kejaksaan merupakan habitat sang Bos KPK itu, yang sudah pasti satu sama lain sudah saling memahami kebiasaan dan cara kerja untuk saling mengamankan. Pertanyaannya, apakah kedua orang di pihak KPK itu sengaja hendak dilibatkan, ataukah sudah merupakan bagian dari jaringan pengamanan kejahatan aparat penegak hukum? Memang masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Apalagi transkrip rekaman pembicaraan para mafia itu tak bisa kita jamin tidak terlebih dulu diedit, sehingga yang ditampilkan hanyalah bagian-bagian tertentu yang bisa menjamin keamanan mereka, ditambah dengan dugaan bahwa ada skenario untuk "membajak" alias menguasai KPK dengan menempatkan orang-orang yang menjadi bagian dari jaringan untuk tetap melanggengkan kejahatan yang sudah berlangsung selama ini. Masuknya Antasari, apalagi menjadi Ketua KPK, menurut versi ini, merupakan bagian dari langkah sistematis untuk mewujudkan agenda konspirasi itu.Kondisi seperti ini akan menjadikan kita semakin sulit mempercayai para aktor dari intern lembaga penegakan hukum untuk secara sungguh-sungguh menjalankan tugasnya dengan baik. Padahal baik jajaran kejaksaan maupun KPK diharapkan menjadi ujung tombak terdepan dalam mewujudkan agenda reformasi, terutama yang terkait dengan penciptaan lingkungan pemerintahan yang bersih (clean government).Lalu kepada siapa lagikah kita mengharapkan tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini? Pertanyaan terakhir ini perlu direnungkan dengan sungguh-sungguh, terutama oleh Presiden RI sebagai penentu kebijakan di bidang eksekutif. Tentu solusinya harus berjalan bersamaan antara pembenahan sistem dan penempatan aktor-aktor yang teruji integritasnya.

korupsi

Penyangkalan atas fakta atau memindahkan makna dari fakta telah menjadi tren dalam pentas kasus di negeri ini. Kasus-kasus sidang penyuapan jaksa, dugaan pelecehan seksual, dan konspirasi pembunuhan berjalan sangat rumit dan berlika-liku.Pertanyaannya, masih adakah kebenaran? Selalu ada fakta dan bukti yang gugur meski jelas dari pemikiran awam bahwa fakta itu mengandung kebenaran. Kita juga melihat, adagium utopis ”kejahatan yang sempurna” (perfect crime) benar-benar ada.Kejahatan sempurna bukan epos tentang penjahat yang tidak pernah tertangkap penegak hukum dan mempertanggungjawabkannya dengan menjalani hukuman. Kejahatan sempurna adalah kejahatan terorganisasi dan dilakukan oleh pengambil keputusan dari institusi legal. Institusi yang rentan untuk melakukannya adalah aparatus negara.Pembeda utama antara mafia dan aparat negara adalah soal legalitas. Dari sisi di mana pembuat dan pelaksana hukum berdiri, sebuah organisasi mafia adalah ilegal dan melanggar hukum.SophistokratBagaimana jika aparat negara menjadi penjahat? Dengan kekuasaannya, mereka akan meyakinkan publik bahwa semua tuduhan yang dialamatkan kepada mereka adalah keliru. Mereka akan menjadi sophistokrat.Plato dalam Republic menggambarkan sophist sebagai a sort of wizard atau seorang imitator hal paling nyata. Mereka bukan produsen kebenaran meski amat memahami diktum kebenaran. Mereka hanya memberi kesan kebenaran itu sendiri (Phaedrus, 275b, 276a).Kecanggihan dalam memanipulasi dan selalu mempertanyakan kebenaran membuat kabur hubungan fakta dan kebenaran. Jika kita terbius keyakinan bahwa segala sesuatu tentang fakta adalah ilusi, mereka berhasil. Kebenaran lalu menjadi soal yang bisa dinegosiasikan.Orang-orang sophis selalu berbicara tentang hantu, pengingkaran, dan penolakan dengan mempertanyakan kembali. Kecanggihan mereka seperti setan yang memainkan simulasi yang selalu ada di ruang samar-samar dan meyakinkan, sebuah kesalahan adalah hal paling benar (Deleuze, 1994:127).Di berbagai ruang, institusi di republik ini telah dipenuhi sophistokrat. Mereka mempunyai lingkaran dengan berbagai profesi yang sejatinya hanya kamuflase. Semakin banyak hal yang secara faktual benar lalu menjadi lenyap dan berganti makna. Demikian juga dengan argumentasi yang mereka bangun akan dengan mudah dipercayai meski tidak masuk akal.Apakah rakyat dan publik harus disalahkan karena membiarkan mereka berjaya? Tidak mudah menjawabnya karena mereka menguasai instrumen kekuasaan. Letak kehebatan para sophistokrat adalah kepiawaian melakukan dekonstruksi atas usaha-usaha meletakkan fondasi bagi konsensus kebenaran dan norma- norma moral di atas tatanan hukum dan politik. Prestasi besar mereka adalah membuat kebenaran menjadi hal yang seolah-olah benar.Konsensus kebenaranSulitkah menentukan kebenaran? Filsuf Giambatista Vico (1965) memercayai, sensus communis (common sense) merupakan awal yang baik untuk menjelajah kebenaran dan menjadi dasar bagi konsep kebijaksanaan. Namun, yang kini terlihat adalah perlombaan seni berbicara (retorika) daripada menyatakan hal yang sesungguhnya (right thing).Kebenaran sendiri terlalu paradoksal dan dilematis diperdebatkan. Akan tetapi, kita harus menyetujui tatanan kebenaran. Konsensus kebenaran harus diletakkan di aras kepentingan publik dan persepsi mereka atas kondisi politik dan hukum yang moralis.Kebenaran publik tentu menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada kebenaran sektarian meski kebenaran publik bisa berubah seiring waktu.Kita dihadapkan persoalan yang belum terselesaikan oleh agenda demokratisasi pasca-Orde Baru. Pelembagaan civil society yang belum kuat merupakan sebab gagalnya konsolidasi sipil untuk meletakkan batas-batas moralitas yang haus dipenuhi penyelenggara negara.Perubahan dalam internal institusi, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun konstitutif, cenderung berjalan tanpa kontrol. Yang tampak adalah diorama pertarungan antarkeluarga gajah dan masyarakat menjadi pelanduk yang hampir mati di tengah arena mereka.Bagaimana melakukan model pelembagaan konsensus? Setidaknya ada tiga hal penting.Pertama, memulihkan agenda penguatan civil society yang bisa mengelola perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok di dalamnya. Jaminan negara atas perbedaan pendapat harus ditepati. Dalam pembuatan regulasi, hak-hak konstitusional warga atas kebebasan dan pertanggungjawaban harus dikedepankan.Kedua, membangun mekanisme keseimbangan kekuasaan dan saling kontrol antarinstitusi negara. Tidak boleh ada institusi yang mempunyai kewenangan lebih besar dari yang lain. Masing-masing harus mempunyai kewenangan sebagai eksekutor. Hal yang penting adalah membuat mekanisme yang mampu meniadakan tawar-menawar antarinstitusi negara dalam rangka membela kepentingan yang bersifat pribadi masing-masing.Ketiga, meletakkan landasan normatif bangsa dan negara sebagai acuan yang selalu mempunyai relevansi bagi kinerja institusi negara dan bisa dijadikan pegangan. Semangat kebenaran yang berlaku universal bisa menjadi pegangan informal. Hal itu menjelma menjadi suara hati dari nurani yang amat menentukan pilihan-pilihan politiknya.Para sophistokrat adalah aktor kejahatan yang sempurna. Jangan sampai mereka membuat negara dengan segenap institusinya sebagai panggung dari sandiwara perdebatan tanpa usai. Sementara rakyat hanya menjadi penonton yang harus membayar mahal untuk pementasan yang sama sekali tidak bermutu.

korupsi

Ketika pejabat tinggi Kejaksaan Agung berinisial UTG tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap, tampak seolah itu kasus suap biasa antara yang bersangkutan dan si pemberi suap berinisial ART, tanpa ada dugaan keterlibatan pihak lain. Ketika itu, semua orang menduga ada keterkaitan suap itu dengan dihentikannya penyelidikan kasus BLBI beberapa hari sebelumnya, karena posisi UTG selaku Ketua Tim II BLBI (BDNI), dan nilai uang suap (US$ 600 ribu) yang sangat besar untuk seorang UTG. Bahkan Jaksa Agung sendiri terkejut mendengar nilai uang yang diterima bawahannya.Penyelidikan KPK membuahkan hasil baru dan fakta baru di mana UTG telah melakukan perbuatan yang sama ketika berhadapan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sesuai dengan keterangan GY (mantan Kepala BPPN) di hadapan pemeriksa KPK sebagaimana dirilis dalam berbagai media. Kesimpulan sementara, UTG telah terbiasa menerima pemberian atau suap dari pihak terperiksa. Dalam kriminologi, perbuatan ini termasuk habitual criminal yang lazimnya dilakukan secara individual saja. Namun, di muka persidangan, ketika terhadap terdakwa ART (pemberi suap) diperdengarkan rekaman pembicaraan petinggi Kejaksaan Agung dengan ART sebelum dan sesudah ada pengumuman Kejaksaan Agung mengenai tidak dilanjutkannya penyelidikan kasus BDNI, timbul kecurigaan bahwa perbuatan UTG tidak dilakukan sendirian, dan peristiwa penangkapan ini berkaitan dengan pengumuman tidak dilanjutkannya penyelidikan kasus BDNI. Apalagi isi rekaman pembicaraan antara ART dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (KYR) begitu gamblang menggambarkan bahwa hubungan pertemanan di antara kedua pembicara begitu akrab, sehingga seolah-olah ART ditempatkan sebagai atasan KYR. Mengutip kalimat yang diucapkan, antara lain "sudah selesai tugas saya", jelas bahwa sebelum pengumuman Kejaksaan Agung tersebut, telah ada permintaan dari ART kepada KYR untuk "menyelesaikan" penyelidikan kasus BDNI, karena bukan rahasia lagi siapa dan apa posisi ART dalam grup bisnis SYN. Tampaknya ART tak hanya berteman dengan KYR, tapi juga dengan UUS (Jamdatun), sehingga terjadi pembicaraan antarteman yang intinya meminta pertolongan Jamdatun bagaimana menghadapi masalah tertangkapnya UTG, karena ART mengakui memberikan sesuatu. Advis yang diberikan Jamdatun kepadanya adalah akan diusahakan menghubungi Jamintel dan menyusun skenario bahwa ART akan ditangkap oleh Kejaksaan Agung. Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh mantan Direktur Penyidikan (MS) dan semua persiapan penangkapan tersebut diketahui oleh Jaksa Agung, berdasarkan pengakuan MS kepada KYR selaku atasannya. Dalam peristiwa suap UTG oleh ART juga tidak dapat diabaikan fakta sebelum terjadinya peristiwa ini, yaitu ketika Kejaksaan Agung menyampaikan surat panggilan kepada SYN untuk menghadapi pemeriksaan atas saran petinggi di Kejaksaan Agung, telah dikeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa terperiksa sedang sakit, dan surat tersebut ditandatangani kuasa hukum ART, yaitu MI dan E, dengan menggunakan kop surat kantor hukum AB; dan surat tersebut tanpa dilampiri surat dokter. Surat keterangan dari penasihat hukum itu pun diterima oleh Kejaksaan Agung tanpa mempersoalkan surat dokternya.Berdasarkan fakta tersebut di atas, semakin terang benderang bagi masyarakat luas bahwa dalam penanganan kasus BDNI (SYN), telah terjadi apa yang disebut sebagai miscarriage of justice oleh penegak hukum, sehingga telah terjadi apa yang disebut dalam kriminologi sebagai governmental crime. Hal ini semakin diperkuat dengan langkah dan niat Kejaksaan Agung untuk segera menangkap ART setelah UTG ditangkap KPK, sekalipun Ketua KPK telah mengatakan kepada petugas Kejaksaan Agung untuk tidak ikut campur dalam kasus ini. Sesungguhnya pendapat Ketua KPK dibenarkan berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi: "Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan." Penegasan bahwa KPK memiliki peranan dominan dalam penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 50 ayat (4) yang berbunyi: "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan." Sanksi ancaman pidana terhadap langkah Kejaksaan Agung yang telah mengeluarkan surat perintah penangkapan ART terdapat pada ketentuan pidana Pasal 21 UU Nomor 31 tahun 1999 yang berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ...dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun...." Kegagalan melaksanakan perintah penangkapan tersebut dapat digolongkan sebagai percobaan melakukan tindak pidana, dan percobaan melakukan tindak pidana tetap dapat dihukum sesuai dengan ketentuan tersebut.

korupsi

Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan enggan berspekulasi terlebih dahulu terkait terungkapnya percakapan antara Artalyta Suryani alias Ayin dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso di sidang Pengadilan Tipikor, Rabu (11/6) kemarin. Jaksa Agung berkilah, apa yang terungkap baru satu sisi saja.
"Ini kan belum selesai, jajaran pengawasan kan, juga belum selesai mendindaklanjuti itu (hubungan Artalyta dengan Urip Tri Gunawan). Pada saat jajaran pengawasan melakukan pemeriksaan, hanya kepada Urip saja. Sementara kepada Artalyta, sampai saat ini belum dilakukan dan belum diijinkan oleh KPK," kata Hendarman Supandji kepada wartawan, Kamis (12/6), di usai melakukan rapat kerja dengan Komisi VIII DPR.
Ia mengakui, persidangan Artalyta sekarang ini banyak hal-hal yang berkembang yang tentu saja, Kejaksaan Agung tidak tinggal diam begitu saja. Kejaksaan Agung, katanya, akan mencari apakah ada tindak pidan lain terkait dugaan kasus suap Artalyta terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan.
"Nah, sekarang sidangnya belum selesai masih berlanjut. Saksi belum didengar semuanya dan pak Kiemas juga akan didengar juga keterangannnya. Salim juga akan didengar sampai dijauh mana keterkaitannya dengan kasus ini," tegas Hendarman.
Tegas dikatakan Jaksa Agung, institusinya tidak pernah membuat skenario untuk melindungi Artalyta agar tidak ditangkap oleh KKP. Ia menjelaskan, pada saat Jaksa Urip Tri Gunawan ditangkap, Artalyta tidak ikut tertangkap. Namun, setelah ditunggu selama dua jam, barulah KPK menangkap Artalyta.
"Sejak awal kasus ini terungkap, saya sejak awal ditampar. Sejak awal saya tetap berkomitmen akan terus mendindaklanjiti kasus ini sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ada, saya harus ada di dalam koridor itu dan tidak ada skenario apapun," tandas Hendarman.
Jamintel Wisnu Subroto saat ditemui, enggan berkomentar banyak atas terungkapkan percakapan antara Artalyta dengan Jamdatun Untung Udji Santoso. Kejaksaan Agung, diakuinya tidak mengetahui ada kedekatan antara keduanya sebelum kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan terungkap.
"Saya tidak mengerti karena saya tidak menangani kasusnya. Saya kenal Urip saja tidak. Anak buah saja bukan. Yang menangani kasus ini kan Jampidsus," tandasnya.
Jaksa Agung menjelaskan kembali, terkait dengan terungkapnya rekaman antara Kiemas Yahya Rahman saat menjabat Jampidsus dengan Artalyta Suryani. Hendarman mengakui, sebelum percakapan itu terungkap di peradialan, ia sudah meminta klarifikasi terlebih dahulu dengan Kiemas Yahya Rahman. Pasalnya, percakapan itu menjadi isu yang berkembang di internal Kejaksaan Agung.
"Dan sampai sejauh ini, masih sesuai. Tapi memang, ada yang tidak dia (Kiemas) tidak sampaikan. Seperti Joker itu. Saya kan belum tahu. Tapi Pak Kemas berjanji akan melakukan klarifikasi soal ini. Dan saya mengakui, kasus Urip ini memang ada kaitannya dengan BLBI. Akan tetapi, saya belum tahu apakah yang kasus Rp 6 miliar itu ada kaitannya dengan penghentian atau tidak," jelas Hendarman.

korupsi

Hakim Ketua Pengadilan Tipikor Mansyurdin Chaniago yang memimpin persidangan kasus dugaan suap dengan terdakwa Artalyta Suryani, Rabu (11/6), tampak gemas. Berulang kali pertanyaannya dijawab "tidak tahu" oleh Urip Tri Gunawan yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan tersebut. Merasa jawaban Urip tak jujur, berulang kali Mansyurdin dan hakim anggota lainnya menasihati Urip agar bicara jujur.
Berawal ketika hakim menanyakan, apakah selama menangani kasus BLBI yang melibatkan para obligor, Urip pernah melakukan komunikasi dengan Artalyta. Artalyta adalah kerabat Sjamsul Nursalim, pemegang saham pengendali BDNI.
Urip menjawab, "Tidak pernah".
"Benar?" tanya hakim, dengan nada bicara yang meragukan jawaban Urip.
"Benar," jawab Kepala Subdit Tindak Pidana EKonomi Kejaksaan Agung itu.
"Ingat, Anda sudah bersaksi. Jangan bohong karena ada sanksi pidananya. Secara agama juga begitu. Kalau berbohong, ada laknat Tuhan untuk Saudara, entah kapan saja laknat itu akan datang. Tidak harus sekarang. Ingat itu Saudara, apalagi Anda itu penegak hukum juga," kata Mansyurdin.
Kegeraman hakim tak berakhir di situ. Saat diperdengarkan rekaman percakapan telepon antara Urip dan Artalyta, Urip pun mengaku tak tahu saat ditanya apakah suara laki-laki dalam perbincangan itu adalah suaranya. Padahal, Artalyta sudah mengakui bahwa suara perempuan adalah suaranya, sedangkan suara laki-laki dalam rekaman tersebut adalah suara Urip.
"Kasihan sekali negara ini ya mempekerjakan jaksa yang banyak lupa dan tidak tahunya. Bahkan dengan suaranya sendiri. Sekali lagi saya ingatkan, saudara sudah disumpah. Jangan main-main dengan saya. Jangan coba bohongi saya ya. Pengunjung di sini saja yang telinganya masih berfungsi tahu itu suara saudara, dengan mendengar logat saudara di persidangan ini. Jaksa kok ngono (begitu). Jadi, itu suara saudara bukan?" tanya hakim lagi.
"Tidak tahu," ujar Urip bertahan dengan suaranya.
"Berapa tahun saudara jadi jaksa?" tanya Mansyurdin.
"Tujuh belas tahun, majelis," jawab dia.
"Saya sudah 30-an tahun jadi hakim. Saya banyak ketemu orang, yang kalibernya jauh di atas saudara. Ingat, saudara tahu hukum. Saya ingin saudara kooperatif. Jangan sembarangan bilang tidak tahu atau tidak ingat. Bagaimana menangani kasus kalau banyak lupanya," kata Mansyurdin dengan nada bicara keras.
Belum berhenti sampai di situ, pengunjung sidang ada yang tertawa dan bergumam saat Urip menjawab tak tahu ketika dikonfirmasi jenis ponsel yang dipakai dan nomor ponselnya. Ia mengaku tak pernah mengingat nomornya. "Saya saja sampai tanya ke operator, apakah nomor handphone itu benar nomor saya," kata dia.
Atas jawaban ini, hakim hanya menggelengkan kepala.

korupsi

Ketidakadilan Hukum Kasus BLBI
Kompas (23/06/2008)
Kasus BLBI telah berjalan lebih kurang selama 10 tahun sejak krisis moneter tahun 1997/1998.Langkah penegakan hukum yang dilakukan mengakibatkan pengambil kebijakan pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dijatuhi hukuman. Sementara dua direksi lain di-SP3-kan (surat perintah penghentian penyidikan) Kejaksaan Agung (Kejagung) dan sejumlah penerima BLBI dihukumPemerintah menetapkan kebijakan hukum dan menggunakan UU No 25/2000 tentang Propenas dan payung politik Tap MPR untuk penyelesaian di luar pengadilan, diikuti Inpres No 8/2002 yang mengesahkan MSAA, MRNIA, APU, dan SKL.Konsekuensi dari Inpres itu adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI oleh Kejagung. Namun, penghentian itu tidak merujuk pada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan.Surat keterangan lunas (SKL) terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi kewajibannya) tidak memberi hasil maksimal bagi kepentingan negara. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 6 Mei 2008, membatalkan SP-3 Kejagung yang telah dikeluarkan atas nama kasus SYN (BDNI) bertanggal 14 Juni tahun 2004, merupakan bukti bahwa payung hukum itu tidak memenuhi asas kepastian hukum dan belum berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Sementara pengembalian atas kerugian negara tidak mencapai 10 persen dari total dana BLBI yang telah disalurkan.Menimbulkan ketidakadilanKepastian hukum dan keadilan dalam kebijakan hukum yang diambil pemerintah telah menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian tersangka/terdakwa serta masyarakat luas, bahkan tampak diskriminatif. Contoh nyata, mengapa obligor SYN dalam kasus BDNI masih diberi kebebasan untuk ”buron” ke luar negeri dengan alasan kesehatan dan mendapat izin Jaksa Agung, sedangkan tersangka/terdakwa lain tidak diberi perlakuan sama dan tetap dikenakan penahanan serta dituntut secara pidana.Tertangkapnya UTG dengan uang sekitar Rp 6 miliar dari Art tiga hari setelah diumumkan bahwa Kejagung tidak menemukan unsur melawan hukum dalam kasus BDNI (SYN); dua kali keterangan Glenn Yusuf (mantan Kepala BPPN) di hadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengakui adanya suap dalam kasus BLBI; serta rekaman percakapan UTG dan Art, KyR dan Art, UUS dan Art yang dibuka dalam persidangan terdakwa Art ditambah rencana penangkapan Art oleh Kejagung dengan sepengetahuan Jaksa Agung membuktikan bahwa penegakan hukum kasus BLBI telah menciptakan miscarriage of justice.Ini merupakan skandal besar kedua dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia setelah kasus dana BI. Rencana penangkapan Art oleh Kejagung juga melanggar Pasal 50 UU KPK (2002) yang tegas melarang kejaksaan atau kepolisian melakukan langkah hukum saat KPK sudah menangani kasus korupsi itu.Inisiatif Kejagung memeriksa keterlibatan petinggi Kejagung dalam kasus UTG tidak dapat menghapus citra negatif masyarakat. Maka, KPK seharusnya dapat mengambil alih kasus BLBI dari Kejagung dan memeriksa petinggi Kejagung tersebut.Analisis kasus BLBIMasyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia telah menganalisis kasus BLBI. Kesimpulannya, pertama, kasus BLBI sarat muatan korupsi. Kedua, KPK dapat mengambil alih kasus BLBI dari Kejagung.Kasus BLBI, terutama pasca-Inpres No 8/2002, merupakan tindak pidana korupsi karena unsur melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain atau korporasi, dan kerugian negara telah dipenuhi. Penyelesaian di luar pengadilan juga tidak membuahkan hasil signifikan bagi kepentingan negara. Selain itu, tidak ada iktikad baik dari penerima BLBI, antara lain nilai jaminan jauh lebih rendah dari nilai kewajiban yang seharusnya diselesaikan kepada negara dan tidak kooperatif terhadap pemanggilan Kejagung.KPK dapat mengambil alih dalam rangka supervisi (Pasal 9 juncto Pasal 8) dan merujuk Pasal 68 UU No 30/2002 tentang KPK. Tidak ada alasan bahwa KPK tidak dapat mengambil alih kasus BLBI karena hukum acara pidana Indonesia (Pasal 284 Ayat 1 KUHAP) tegas tidak mengakui asas nonretroaktif sepanjang terkait dengan kewenangan menyidik dan menuntut perkara sebelum KUHAP terbentuk. Asas itu diakui dalam proses kriminalisasi suatu perbuatan menjadi tindak pidana vide Pasal 1 Ayat (1) KUHP.Wewenang KPK mengambil alih perkara korupsi yang belum selesai penanganannya tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Perubahannya karena Pasal 28 I UUD 1945 dan Perubahannya tidak melarang wewenang retroaktif KPK. Jika ada pendapat KPK tidak dapat mengambil alih kasus BLBI, jelas mereka tidak memahami sejarah hukum pidana Indonesia sampai KUHAP diundangkan tahun 1981. Jika asas nonretroaktif diterapkan pada masalah wewenang, akan terjadi stagnasi pemerintahan dan kinerja penegakan hukum dari satu periode ke periode lain.